Masalah Pembiayaan Kesehatan di Indonesia


Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa.

Dalam kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senatiasa “siap pakai” dan tetap terhindar dari serangan berbagai penyakit. Namun, masih banyak orang menyepelekan hal ini. Negara, pada beberapa kasus, juga demikian.

 

Di Indonesia, tak bisa dipungkiri, trend pembangunan kesehatan bergulir mengikuti pola rezim penguasa. Pada zaman ketika penguasa negeri ini hanya memandang sebelah mata kepada pembangunan kesehatan, kualitas hidup dan derajat kesehatan rakyat kita juga sangat memprihatinkan.

Angka Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) negara kita selalu stagnan pada kisaran 117-115 dari sekitar 175 negara Sebagai catatan, HDI adalah ukuran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa yang dilihat dari parameter pembangunan ekonomi, kesehatan dan pendidikan.


Ironisnya, rentetan pergantian tampuk kekuasaan selama beberapa dekade terakhir, pun tak kunjung membawa angin perubahan. Apa pasal?

Belum terbitnya kesadaran betapa tercapainya derajat kesehatan optimal sebagai syarat mutlak terwujudnya tatanan masyarakat bangsa yang berkeadaban, serta di pihak lain masih lekatnya anggapan bahwa pembangunan bidang kesehatan semata terkait dengan penanganan sejumlah penyakit tertentu dan penyediaan obat-obatan.

Sudut pandang yang teramat sempit memang, ditambah dengan kecenderungan untuk mendahulukan hal lain yang sesungguhnya masih bisa ditunda.

Variabel tadi menemukan titik singgung dengan belum adanya keinginan politik dari pemerintah, rezim boleh berganti namun modus operandi dan motifnya masih serupa; bahwa isu-isu kesehatan hanya didendangkan sekedar menyemarakkan janji dan program-program politik tertentu dalam tujuan jangka pendek.

Untuk kasus Indonesia, belum ada grand strategy yang terarah dalam peningkatan kualitas kesehatan individu dan masyarakat, yang dengan tegas tercermin dari minimnya pos anggaran kesehatan dalam APBN maupun APBD.

Belum lagi jika kita ingin bertutur tentang program pengembangan kesehatan maritim yang semestinya menjadi keunggulan komparatif negeri kita yang wilayah perairannya dominan. Pelayanan kesehatan di tiap sentra pelayanan selalu jauh dari memuaskan.

Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang sebagai rendahnya apresiasi kita akan pentingnya bidang ini sebagai elemen penyangga, yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap keuangan negara lebih besar lagi. Sejenis pemborosan baru yang muncul karena kesalahan kita sendiri.

Kabar menarik sesungguhnya mulai terangkat ketika Departemen Kesehatan pada beberapa waktu lalu, mengelurkan konsep pembangunan kesehatan berkelanjutan, dikenal sebagai Visi Indonesia Sehat 2010.

Berbagai langkah telah ditempuh untuk mensosialisasikan keberadaan VIS 2010 tersebut, tetapi kemudian menjadi lemah akibat kebijakan desentralisasi dan akhirnya “terpental” dengan diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010, pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigma yang nyatanya cukup bertentangan dengan anutan desentralisasi, dimana kewenangan daerah menjadi otonom untuk menentukan arah dan model pembangunan di wilayahnya tanpa harus terikat jauh dari pusat.

BACA:  Catatan Ringan Sepakbola Kita

Sistem Kesehatan Nasional

Kebijakan desentralisasi, pada beberapa sisi, telah ikut menggerus pola lama pembangunan, termasuk di bidang kesehatan. Relatif “berkuasanya” kembali daerah-daerah dalam menentukan kebijakan pembangunannya, membuat konsepsi Visi Indonesia Sehat seakan tidak menemukan relung untuk dapat diwujudkan.

Impian untuk mewujudkan tangga-tangga pencapaian “sehat”, mulai dari Indonesia sehat 2010, Propinsi Sehat 2008, Kabupaten Sehat 2006 dan Kecamatan Sehat 2004, menjadi miskin makna.

Pada kenyataannya, masih sangat banyak wilayah-wilayah di negeri ini yang sangat jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan berkualitas. Padahal pada saat yang sama, kecenderungan epidemiologi penyakit tak kunjung berubah yang diperparah lemahnya infrastruktur promotif dan preventif di bidang kesehatan.

Kali terakhir, ini juga dapat dipandang sebagai sebuah “terobosan” baru, pemerintah menerbitkan dokumen panduan pembangunan kesehatan yang dikenal sebagai “Sistem Kesehatan Nasional”.

Dokumen ini antara lain disusun berdasarkan pada asumnsi bahwa pembangunan kesehatan merupakan pembangunan manusia seutuhnya untuk mencapai derajat kesehatan yang tertinggi, sehingga dalam penyelenggaraannya tidak bisa menafikkan peran dan kontribusi sektor lainnya. Singkatnya, pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan bangsa.

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) terdiri atas :

  • Upaya Kesehatan
  • Pembiayaan Kesehatan
  • Sumber Daya Manusia Kesehatan
  • Sumber Daya Obat dan Perbekalan Kesehatan
  • Pemberdayaan Masyarakat
  • Manajemen Kesehatan

Jika kita runut, maka subsistem yang cukup fundamental adalah pembiayaan kesehatan. Ketiadaan atau tidak optimalnya pembiayaan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dan program lainnya, merupakan salah satu penyebab utama tidak tercapainya tujuan pembangunan kesehatan yang kita inginkan. Betapa tidak, hamper semua aktivitas dalam pembangunan tak dapat dipungkiri, membutuhkan dana dan biaya.

Pembiayaan Kesehatan

Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembanguan kesehatan, terdapat beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran (kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran yang ada.

Di Negara kita, proporsi anggaran pembangunan kesehatan tidak pernah mencapai angka dua digit dibanding dengan total APBN/APBD.

Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) jauh-jauh hari telah menstandarkan anggaran pembangunan kesehatan suatu Negara pada kisaran minimal 5% dari GDP (Gross Domestic Product/Pendapatan Domestik Bruto).

Pada tahun 2003, pertemuan para Bupati/Walikota se-Indonesia di Blitar telah juga menyepakati komitmen besarnya anggaran pembangunan kesehatan di daerah-daerah sebesar 15% dari APBD. Kenyataannya, Indonesia hanya mampu mematok anggaran kesehatan sebesar 2,4% dari GDP, atau sekitar 2,2-2,5% dari APBN.

Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa alasan. Berbagai hal bias dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran pemerintah untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas, juga karena kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang mengalami transisi demokrasi ini.

BACA:  Aspek Etikolegal Pelayanan Kesehatan

Ironisnya, kelemahan ini bukannya tertutupi dengan penggunaan anggaran yang efektif dan efisien. Beberapa tahun yang lalu, lembaga transparansi internasional mengumumkan tiga besar intansi pemerintah Indonesia yang paling korup. Nomor satu adalah departemen agama, selanjutnya departemen kesehatan dan terakhir adalah departemen pendidikan.

Temuan ini semakin menguatkan dugaan adanya tindak “mafia” anggaran pembangunan kesehatan pada berbagai instansi kesehatahn di seantero negeri ini. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme – seperti juga dialami di intansi lainnya – tetap berurat akar dengan subur di departemen kesehatan.

Akibatnya, banyak kita jumpai penyelenggaraan program-program kesehatan yang hanya dilakukan secara asal-asalan dan tidak tepat fungsi.

Relatif ketatnya birokrasi di lingkungan departemen kesehatan dan instansi turunannya, dapat disangka sebagai biang sulitnya mengejar transparansi dan akuntabilitas anggaran di wilayah ini. Peran serta masyarakat dalam pembahasan fungsionalisasi anggaran kesehatan menjadi sangat minim, jika tak mau disebut tidak ada sama sekali.

Pada sisi lain, untuk skala Negara sedang berkembang, Indonesia yang masih berkutat memerangi penyakit-penyakit infeksi tropik akibat masih buruknya pengelolaan lingkungan, seharusnya menempatkan prioritas pembangunan kesehatan pada aspek promotif dan preventif, bukan semata di bidang kuratif dan rehabilitatif saja.

Sebagai catatan, rasio anggaran antara promotif dan preventif dengan kuratif-rehabilitatif selama ini berkisar pada 1:3, suatu perbandingan yang tidak cukup investatif untuk bangsa sedang berkembang seperti Indonesia.

Akibatnya, sejumlah program kesehatan di negeri ini masih berputar-putar pada upaya bagaimana mengobati orang yang sakit saja, bukannya mencari akar permasalahan yang menjadi penyebab mereka jatuh sakit kemudian meneyelesaikannya.

Beberapa Pemikiran

Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan kesehatan seperti apa yang layak diterapkan di negeri kita, sistem pembiayaan yang bagaimana yang cocok dengan kehidupan masyarakat kita. Depkes sebagai pengemban pertama tanggung jawab konstitusi kita ternyata dalam banyak kasus terbukti tak dapat/ tak mau berbuat banyak.

Anggaran kesehatan yang teramat minim, terlepas basis argumentasinya seperti apa; setidaknya menjadi isyarat akan kenyataan teguh, bahwa memang hal-hal yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak selalu dianggap sepele.

Hal ini didukung pula oleh sifat apatis sebagian besar rakyat kita, dalam mengkritisi kebijakan kesehatan. Pun itu diperparah dengan belum transparannya penggunaan anggaran, dan dana yang ada lebih dialokasikan pada pos-pos yang bukan menjadi kebutuhan mendesak masyarakat.

Sebagai contoh; beberapa puskesmas di Indonesia memiliki fasilitas mobil ambulans yang lengkap namun di puskesmas tersebut, tenaga medis yang ada hanya sebatas paramedis, tanpa tenaga dokter, sarjana kesehatan masyarakat dan tenaga medis lainnya, jadi proses pemenuhan dan penyediaan kebutuhan masyarakat akan kesehatan tidak berbasis pada analisa kebutuhan tetapi lebih sebagai resultan dari tarik-menarik kepentingan politik nasional maupun lokal.

Dalam lokus kajian spesifik, membengkaknya biaya kesehatan ternyata secara langsung atau tidak juga disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan perguruan tinggi atau sekolah-sekolah yang berlatar belakang kesehatan.

BACA:  Analisis Biaya Pelayanan Rumah Sakit

Indonesia menjadi contoh dari mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh para peserta didik dari fakultas kedokteran, akademi maupun sekolah tenaga kesehatan lainnya. Hal ini sangat kontras jika kita bandingkan dengan kasus negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia; dimana negara bertanggung jawab mengucurkan dana besar bagi institusi pendidikan.

Dominasi Negara berlebih-lebihan dalam banyak hal termasuk mewajibkan pegawai negeri sipil, polisi atau militer untuk masuk hanya pada perusahaan asuransi tertentu yang dikelola oleh negara membuka peluang terjadinya praktek korupsi. Model itu sudah selayaknya ditinjau ulang.

Reformasi Kesehatan

Reformasi bidang kesehatan bukan lagi bahasa yang baru. Hanya saja agendanya perlu dipertegas kembali sebagai landasan pembangunan selanjutnya. Jika disederhanakan, agenda reformasi kesehatan akan lebih mengedepankan partisipasi masyarakat dalam menyusun dan menyelenggarakan aspek kesehatannya dengan sesedikit mungkin intervensi pemerintah.

Pemberdayaan masyarakat menjadi tolok ukur keberhasilan dan pemihakan terhadap kaum miskin menjadi syarat penerimaan universalitasnya.

Gunawan Setiadi, seorang dokter dan master bidang kesehatan, mengungkapkan beberapa alasan mengapa masyarakat dapat menyelenggarakan kesehatannya, dan lebih baik dari pemerintah, antara lain:

(a) komitmen masyarakat lebih besar dibandingkan pegawai yang digaji;
(b) masyarakat lebih paham masalahnya sendiri;
(c) masyarakat dapat memecahkan masalah, sedangkan kalangan profesional/pemerintah sekadar memberikan pelayanan;
(d) masyarakat lebih fleksibel dan kreatif;
(e) masyarakat mampu memberikan pelayanan yang lebih murah; dan
(f) standar perilaku ditegakkan lebih efektif oleh masyarakat dibandingkan birokrat atau profesional kesehatan.

Pandangan-pandangan di atas menjadi cukup beralasan muncul dengan melihat kecenderungan rendahnya etos kerja birokrat dan profesional kesehatan selama ini.

Sudah saatnya penyelenggaraan kesehatan diprakarsai oleh masyarakat sendiri, sehingga pemaknaan atas hidup sehat menjadi sebuah budaya baru, di mana di dalamnya terbangun kepercayaan, penghargaan atas hak hidup dan menyuburnya norma-norma kemanusiaan lainnya.

Model penyelenggaraan kesehatan berbasis pemberdayaan (empowerment) harus disusun secara rasional dengan sedapat mungkin melibatkan semua stakeholder terkait.

Jadi, prioritas pembangunan kesehatan sedapat mungkin lebih diarahkan untuk masyarakat miskin – mereka yang jumlahnya mayoritas dan telah banyak terampas haknya selama ini. Untuk itu, sasaran dari subsidi pemerintah di bidang kesehatan perlu dipertajam dengan jalan antara lain :

  • Pertama, meningkatkan anggaran bagi program-program kesehatan yang banyak berkaitan dengan penduduk miskin. Misalnya program pemberantasan penyakit menular, pelayanan kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan gizi masyarakat.
  • Kedua, meningkatkan subsidi bagi sarana pelayanan kesehatan yang banyak melayani penduduk miskin, yaitu Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, ruang rawat inap kelas III di rumah sakit. Untuk itu, subsidi bantuan biaya operasional rumah sakit perlu ditingkatkan untuk menghindari praktik eksploitasi dan ‘pemalakan’ pasien miskin atas nama biaya perawatan.
  • Ketiga, mengurangi anggaran bagi program yang secara tidak langsung membantu masyarakat miskin mengatasi masalah kesehatannya. Contohnya adalah pengadaan alat kedokteran canggih, program kesehatan olahraga dan lain sebagainya.
  • Keempat, mengurangi subsidi pemerintah kepada sarana pelayanan kesehatan yang jarang dimanfaatkan oleh masyarakat miskin, misalnya pembangunan rumah sakit-rumah sakit stroke.