Makhluk Itu Bernama: Paranoia


Interaksi sosial yang kita jalani, tak ayal menjebak kita untuk menerima konsekuensi sosial. Konsekuensi itu dapat berupa penerimaan atau penolakan atas realitas yang terjadi. Manusia adalah makhluk swadiri yang eksistensinya memutlakkan kehadiran sesamanya. Tanpa sesama, interaksi akan hampa dan konsekuensi atas interaksi itu tidak jua akan muncul.

Dalam keterbatasannya, manusia diberikan kemerdekaan fitrawi, untuk melakukan tindakan dan perbuatan sosial. Fitrawinya potensi kemanusiaan, dalam perjumpaannya dengan realitas, memungkinkan munculnya alternatif-alternatif. Pilihan sadar atas alternatif yang terpampang di depan mata adalah bentuk perwujudan atas tanggung jawab eksistensial.

 

Tak seorang pun berhak untuk merampas dan menjajah kemerdekaan manusiawi. Sebagaimana kemerdekaan itu hadir dalam setiap diri manusia, maka ia merupakan “penampakan” kemanusiaan itu sendiri.

Tak satu pun alasan yang mengharuskan pembajakan atas kemerdekaan sesama, sehingga dalam kenyataannya tidak diiyakan berlangsungnya praktek dehumanisasi.


Karena manusia adalah makhluk merdeka, maka identitas kemanusiaan haruslah hadir sejalan dengan aktivitas sosial yang diperankan. Alangkah kurang bijaksananya, jika seseorang diwajibkan menanggung konsekuensi, jika ia sendiri tidak menghadirkankan alasan untuk itu.

BACA:  Kita (Agaknya) Perlu Me-re-defenisikan Kembali Makna Keprihatinan Kita

Proses humanisasi (memanusiakan manusia), singkatnya, merupakan bentuk penghargaan atas ranah hidup diri sendiri , sebagai seorang manusia yang memiliki derajat yang sama secara fitrawi.

***********

Ospek, sebagai fenomena rutin-meskipun tidaklah fitrawi-, sangat memungkinkan terjadinya dislokasi sosial. Dalam jumlah manusia yang tidak sedikit dan tergabung dalam satu lokus, sangat potensial membesarkan peluang keterpaksaan untuk melakukan tindakan-tindakan sosial.

Dan sesungguhnya interaksi yang dibangun atas keterpaksaan, kerap memunculkan banyak konsekuensi. Tak jarang, friksi-friksi mulai mencuat ke permukaan sejalan dengan kian gemuruhnya dentuman kepentingan libidonomi yang dibawa masing-masing entitas.

Hanya saja, semua kembali harus direnungkan jika kita masih bisa saling berbesar hati. Bahwa perbedaan adalah sesuatu yang juga fitrawi, itu benar adanya. Juga, bahwa kesalahan dan kekhilafan memang menjadi syarat penyerta entitas yang tidak sempurna, itu betul.

Maka, dengan asumsi dasar bahwa setiap kita memiliki fitrawi, untuk melakukan interaksi sosial yang bermartabat, kita bisa meletakkan gagasan “anti kekerasan” pada bagian paling belakang.

BACA:  Indonesia (Kita) Bubar(kan)?

Ketakutan akan membesarnya kemungkinan terjadinya kekerasan, dapat saja diterima. Asalkan, itu dilakukan secara rasional. Jika tidak, maka ketakutan berlebihan akan terjadinya penindasan dan kekerasan dalam praktek ospek, tak berbeda jauh dengan syndrome paranoia.

Memang, merupakan pekerjaan mulia melindungi sesama. Apalagi terhadap kaum yang secara sosial memang “dimungkinkan” tertindas, seperti mahasiswa baru. Tetapi, pekerjaan seperti ini acap kali mensyaratkan alasan yang secara rasional harus dapat dipahami.

Ketakutan akan terjadinya kekerasan dalam ospek, tidak lantas mengharuskan kita mengambil sikap, melindungi seketat mungkin mahasiswa baru. Justru, dengan semakin ketatnya ring pengawalan atas “entitas sosial” yang baru (baca : maba), akan memancing gairah emosional untuk menjebak mereka dalam ritual perkenalan sosial.

Potensi fitrawi manusia juga memberi ruang bagi hadirnya entitas emosional, memperbudak sesama. Hanya saja, jika proses social dilakukan secara proporsional, dengan tetap mengedepankan aspek kedinamisan, maka proses social ini akan berujung pada kebaikan-kebaikan.

BACA:  [Masih] Tentang Bencana

Sebagaimana kita pahami, proses reproduksi kebaikan-kebaikan, tiada lain merupakan proses membangun sebuah identitas sosial. Dengan identitas inilah, manusia dengan segala keterbatasannya, dimungkinkan untuk memaksimalkan peran dan tanggung jawabnya atas realitas.

Untuk konteks ospek, pemaksimalan tanggung jawab sosial tersebut lebih banyak diterjemahkan sebagai proses membangun interaksi positif antara entitas lama (mahasiswa senior) dengan entitas baru (maba). Dari sini, maka reproduksi kebaikan-kebaikan menjadi takaran untuk melahirkan identitas kemahasiswaan.

Jadi, sepanjang kesadaran sosial masih juga kita bangun, dan kepekaan fitrawi tetap kita pertahankan, maka hadirnya ketakutan-ketakutan akan terjadinya dislokasi sosial/friksi-friksi kelompok kepentingan, menjadi terbantahkan. Jika tidak, artinya kita sedang memelihara seekor makhluk bernama : Paranoia. Makhluk yang merupakan ketakutan tanpa alasan rasional.

Dalam konteks social, paranoid adalah devian sosial yang sama sekali tidak memiliki identitas. Makhluk sosial tanpa identitas, tak ubahnya adalah benda mati yang tidak punya harga sama sekali. Berkembangnya paranoia, artinya matinya kemanusiaan. []