Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial dan pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek. Definisi WHO (1981): Health is a state of complete physical, mental and social well-being, and not merely the absence of disease or infirmity. WHO mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang. Sebatas mana seseorang dapat dianggap sempurna jasmaninya ?, Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan dipandang sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar. Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai kebudayaan juga dapat menimbulkan penyakit.
Masyarakat dan pengobat tradisional menganut dua konsep penyebab sakit, yaitu: Naturalistik dan Personalistik. Penyebab bersifat Naturalistik yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan), kebiasaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaan panas dingin seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobat tradisional (Battra) sama dengan yang dianut masyarakat setempat, yakni suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar, nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat. Sedangkan konsep Personalistik menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara perawatannya. Kusta telah dikenal oleh etnik Makasar sejak lama. Adanya istilah kaddala sikuyu (kusta kepiting) dan kaddala massolong (kusta yang lumer), merupakan ungkapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik telah berada dalam waktu yang lama di tengah-tengah masyarakat tersebut. Hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif atas nilai-nilai budaya di Kabupaten Soppeng, dalam kaitannya dengan penyakit kusta (Kaddala,Bgs.) di masyarakat Bugis menunjukkan bahwa timbul dan diamalkannya leprophobia secara ketat karena menurut salah seorang tokoh budaya, dalam nasehat perkawinan orang-orang tua di sana, kata kaddala ikut tercakup di dalamnya. Disebutkan bahwa bila terjadi pelanggaran melakukan hubungan intim saat istri sedang haid, mereka (kedua mempelai) akan terkutuk dan menderita kusta/kaddala. Ide yang bertujuan guna terciptanya moral yang agung di keluarga baru, berkembang menuruti proses komunikasi dalam masyarakat dan menjadi konsep penderita kusta sebagai penanggung dosa. Pengertian penderita sebagai akibat dosa dari ibu-bapak merupakan awal derita akibat leprophobia. Rasa rendah diri penderita dimulai dari rasa rendah diri keluarga yang merasa tercemar bila salah seorang anggota keluarganya menderita kusta. Dituduh berbuat dosa melakukan hubungan intim saat istri sedang haid bagi seorang fanatik Islam dirasakan sebagai beban trauma psikosomatik yang sangat berat.
Orang tua, keluarga sangat menolak anaknya didiagnosis kusta. Pada penelitian Penggunaan Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat (1990), hasil diskusi kelompok di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa anak dinyatakan sakit jika menangis terus, badan berkeringat, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewel, kurus kering. Bagi orang dewasa, seseorang dinyatakan sakit kalau sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, tidak enak badan, panas dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk-batuk, mual, diare. Sedangkan hasil diskusi kelompok di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa anak sakit dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya yaitu jika menunjukkan gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret, muntah-muntah, gatal, luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki dan perut bengkak. Seorang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau istirahat saja. Pada penyakit batin tidak ada tanda-tanda di badannya, tetapi bisa diketahui dengan menanyakan pada yang gaib. Pada orang yang sehat, gerakannya lincah, kuat bekerja, suhu badan normal, makan dan tidur normal, penglihatan terang, sorot mata cerah, tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit-sakit badan.
Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptif persepsi masyarakat beberapa daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit; masyarakat menganggap bahwa sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengan tingkah laku rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan. Orang dewasa dianggap sakit jika lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau “kantong kering” (tidak punya uang). Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3 bagian yaitu :
1. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap tubuh manusia
2. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin.
3. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).
Untuk mengobati sakit yang termasuk dalam golongan pertama dan ke dua, dapat digunakan obat-obatan, ramuan-ramuan, pijat, kerok, pantangan makan, dan bantuan tenaga kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ke tiga harus dimintakan bantuan dukun, kyai dan lain-lain. Dengan demikian upaya penanggulangannya tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit. Beberapa contoh penyakit pada bayi dan anak sebagai berikut :
a. Sakit demam dan panas.
Penyebabnya adalah perubahan cuaca, kena hujan, salah makan, atau masuk angin. Pengobatannya adalah dengan cara mengompres dengan es, oyong, labu putih yang dingin atau beli obat influensa. Di Indramayu dikatakan penyakit adem meskipun gejalanya panas tinggi, supaya panasnya turun. Penyakit tampek (campak) disebut juga sakit adem karena gejalanya badan panas.
b. Sakit mencret (diare).
Penyebabnya adalah salah makan, makan kacang terlalu banyak, makan makanan pedas, makan udang, ikan, anak meningkat kepandaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain-lain. Penanggulangannya dengan obat tradisional misalkan dengan pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada anaknya (Bima Nusa Tenggara Barat) obat lainnya adalah Larutan Gula Garam (LGG), Oralit, pil Ciba dan lain-lain. Larutan Gula Garam sudah dikenal hanya proporsi campurannya tidak tepat.
c. Sakit kejang-kejang
Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu. Di Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan hantu jahat. Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan pergi ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring.
d. Sakit tampek (campak)
Penyebabnya adalah karena anak terkena panas dalam, anak dimandikan saat panas terik, atau kesambet. Di Indramayu ibu-ibu mengobatinya dengan membalur anak dengan asam kawak, meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberikan daun suwuk, yang menurut kepercayaan dapat mengisap penyakit.
KEJADIAN PENYAKIT
Penyakit merupakan suatu fenomena kompleks yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia. Perilaku dan cara hidup manusia dapat merupakan penyebab bermacam-macam penyakit baik di zaman primitif maupun di masyarakat yang sudah sangat maju peradaban dan kebudayaannya. Ditinjau dari segi biologis penyakit merupakan kelainan berbagai organ tubuh manusia, sedangkan dari segi kemasyarakatan keadaan sakit dianggap sebagai penyimpangan perilaku dari keadaan sosial yang normatif. Penyimpangan itu dapat disebabkan oleh kelainan biomedis organ tubuh atau lingkungan manusia, tetapi juga dapat disebabkan oleh kelainan emosional dan psikososial individu bersangkutan. Faktor emosional dan psikososial ini pada dasarnya merupakan akibat dari lingkungan hidup atau ekosistem manusia dan adat kebiasaan manusia atau kebudayaan.
Konsep kejadian penyakit menurut ilmu kesehatan bergantung jenis penyakit. Secara umum konsepsi ini ditentukan oleh berbagai faktor antara lain parasit, vektor, manusia dan lingkungannya. Para ahli antropologi kesehatan yang dari definisinya dapat disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alamnya, tingkah laku penyakitnya dan cara-cara tingkah laku penyakitnya mempengaruhi evolusi kebudayaannya melalui proses umpan balik (Foster, Anderson, 1978). Penyakit dapat dipandang sebagai suatu unsur dalam lingkungan manusia, seperti tampak pada ciri sel-sabit (sickle-cell) di kalangan penduduk Afrika Barat, suatu perubahan evolusi yang adaptif, yang memberikan imunitas relatif terhadap malaria. Ciri sel sabit sama sekali bukan ancaman, bahkan merupakan karakteristik yang diinginkan karena memberikan proteksi yang tinggi terhadap gigitan nyamuk Anopheles.
Bagi masyarakat Dani di Papua, penyakit dapat merupakan simbol sosial positif, yang diberi nilai-nilai tertentu. Etiologi penyakit dapat dijelaskan melalui sihir, tetapi juga sebagai akibat dosa. Simbol sosial juga dapat merupakan sumber penyakit. Dalam peradaban modern, keterkaitan antara simbol-simbol sosial dan risiko kesehatan sering tampak jelas, misalnya remaja merokok. Suatu kajian hubungan antara psikiatri dan antropologi dalam konteks perubahan sosial ditulis oleh Rudi Salan (1994), berdasarkan pengalaman sendiri sebagai psikiater; salah satu kasusnya sebagai berikut : Seorang perempuan yang sudah cukup umur reumatiknya diobati hanya dengan vitamin dan minyak ikan saja dan percaya penyakitnya akan sembuh. Menurut pasien penyakitnya disebabkan karena “darah kotor” oleh karena itu satu-satunya jalan penyembuhan adalah dengan makan makanan yang bersih , yaitu `mutih’ (ditambah vitamin seperlunya agar tidak kekurangan vitamin) sampai darahnya menjadi bersih kembali. Bagi seorang dokter pendapat itu tidak masuk akal, tetapi begitulah kenyataan yang ada dalam masyarakat.