Rongga abdomen merupakan suatu rongga dengan dukungan bagian belakang oleh susunan tulang belakang torako-lumbo-sakralis dengan seluruh rongga yang diliputi otot dan jaringan pengikat yang relatif rentan terhadap trauma, bila dibandingkan dengan kerangka dada. Dibagian atas terdapat diaphragma dan dibawah didasari oleh diaphragma pelvis yang tersangga oleh kerangka pelvis. Bagian sisi dari muka seluruhnya di bentuk oleh otot, yang kekuatannya sangat relatif tergantung atas derajat beban yang diberikan secara rutin terhadap otot tersebut. Akibat dari konstruksi pelindung rongga abdomen ini, organ yang terdapat didalam rongga abdomen menjadi sangat rentan terhadap trauma baik trauma tajam maupun trauma tumpul, trauma yang relative “Ringan” sudah cukup untuk menimbulkan kerusakan organ intra-torakal, namun tanpa ditangani secara cepat dan tepat, akan mampu menyebabkan keadaan fatal.
Tiga hal yang menimbulkan Kegawat Daruratan Medis Intra-Abdomen,Yaitu:
1. Perdarahan akibat trauma yang merusak hepar, limfa, aorta atau vena abdominalis, pembuluh darah besar dari mesenterium, mesokolon dan omentum, dan kerusakan organ retroperitoneal.
2. Peritonitis difusa akibat tercecernya isi usus kedalam rongga peritoneum akibat kebocoran usus.
3. Diseminasi urine akibat kerusakan ginjal dan kandung kencing.
Patofisiologi
Trauma abdomen secara garis besar terbagi atas trauma tajam, trauma tembakan peluru dan trauma tumpul. Trauma tajam atau tusukan benda tajam memberi jejas pada kutis dan subkutis, bila lebih dalam akan melibatkan otot abdomen, dan tusukan lebih dalam akan menembus peritoneum dan mampu mencederai organ intraperitoneal atau mungkin langsung mencederai organ retroperitoneal bila trauma berasal dari arah belakang. Sangat jarang ditemui trauma tajam yang menembus dari muka sampai belakang dinding abdomen atau sebaliknya. Trauma tajam dinding abdomen akan menimbulkan perdarahan in situ, bila trauma menembus peritoneum, mungkin terdapat polas omentum. Trauma tajam dapat dengan mudah mencederai hepar, mesenterium dan mesokolon, gaster, pancreas atau buli-buli, namun karena sifat mobilitasnya, jarang mencederai usus halus, kolon, limpa dan ginjal. Akibat dari trauma tajam pada umumnya adalah perdarahan yang terpantau, atau bila yang terkena cedera adalah gaster, akan didapati penyebaran asam lambung dalam rongga peritoneum, yang akan memberi perangsangan yang cukup hebat, berupa tanda-tanda peritonitis. Keadaan agak lain pada trauma tembus peluru, dimana kerusakan organ agak “Complicated”, karena dimungkinkan timbulnya kerusakan multi-organ. Akibat kecepatan tembus peluru dan perputaran yang terjadi, luka yang terjadi berupa laserasi yang lebih besar dari diameter peluru. Bila terjadi penembusan diameter abdomen, dimungkinkan terjadinya kerusakan organ intraperitoneal maupun retroperitoneal sekaligus. Dalam keadaan tersebut, selain perdarahan, sering ditemukan juga perforasi usus yang multipel, dan perdarahan luas retroperitoneal. Trauma tumpul dari arah muka, kerusakan umumnya terjadi akibat jepitan antara trauma dengan tulang belakang lumbal. Keadaan yang sering dijumpai adalah perforasi gaster atau ruptura hepar. Ruptura hepar dan limpa dijumpai pada keadaan adanya hepatomegali dan / atau splenomegali. Ruptura buli-buli dijumpai, bila pada trauma tepat dimuka buli – buli dalam keadaan penuh urine.
Penegakan Diagnosa
Trauma tajam dan trauma tembus peluru sangat mudah didiagnosa, yang perlu ditetapkan dengan pasti adalah : apakah trauma tersebut menembus dinding abdomen. Trauma tumpul abdomen memerlukan pemeriksaan fisik yang cermat, untuk menentukan adanya kerusakan organ intraperitoneal. Perlu dibedakan adanya peritonitis atau reaksi peritonitis akibat tertumpahnya isi usus atau darah dalam rongga peritoneum secara bebas, atau tanda-tanda peritonismus akibat rangsangan perdarahan dinding perut atau perdarahan retroperitoneal. Bilamana secara klinis fisis-diagnosis tidak diperoleh kepastian, perlu dibuat foto rontgen abdomen dalam posisi tegak atau setengah duduk dan posisi lateral dekubitus, dengan harapan ditemukannya udara bebas atau cairan bebas intraperitoneal. Dugaan perdarahan intraperitoneal didukung oleh lokasi trauma, keadaan umum pasien, khususnya keadaan kadar hemoglobin dan hematokrit darah, dan bila diperlukan pungsi dinding perut dengan kanula. Dugaan trauma ginjal, yang diantarannya didukung dengan adanya hematuria, dapat dievaluasi dengan pembuatan nefrografi dengan kontras intra vena (IVP) dan ruptura buli- buli, dapat dideteksi dengan sistografi, bila mana ditemukan trauma tumpul suprasimfisis disertai tanda-tanda peritonitis, hematuria dengan diuresis yang relatif sedikit.
Tindakan Penanggulangan
• Evaluasi keadaan jantung-paru
• Atasi keadaan syok serta perbaikan kondisi cairan dan balans elektrolit
• Pasang kateter secara dauer
• Eksplorasi luka/laparotomi pada semua kasus trauma tajam dan trauma tembus peluru, dilaksanakan di kamar bedah, dalam narkose umum, dengan persiapan alat untuk laparotomi.
• Eksplorasi luka untuk menyakinkan, apakah luka menembus peritoneum atau tidak, bila luka menembus peritoneum, diteruskan tindakan eksplorasi laparotomi.
• Eksplorasi laparotomi dilaksanakan terhadap trauma tumpul abdomen, bilamana jejas adanya tanda-tanda perdarahan dan / atau udara bebas intra peritoneal.
• Persiapan darah transfuse secukupnya dengan patokan kadar Hb minimal 10.
Kebijakan khusus :
• Perdarahan arteri : dikuasai dengan ligasi
• Perforasi usus/gaster : tertutup perforasi. Bila terdapat perforasi multipel usus, atau laserasi luas dari usus/kolon, sebaiknya dilakukan reseksi sederhana sampai hemikolektomi, agar trauma seminimal mungkin dan waktu operasi dipersingkat.
• Ruptura hepar : dilakukan penjahitan sederhana sampai lobektomia hepar secukupnya.
• Ruptura limpa : dilakukan splenektomi, penjahitan limpa tidak memuaskan, karena kerapukan jaringan dan tingginya tingkat perdarahan.
• Kerusakan pankreas : dicoba rekonstruksi, bila mana trauma mengenai kepala pankreas, bila kerusakan dibagian badan pankreas kearah kauda, sebaiknya dilakukan reseksi pankreas.
• Ruptura buli-buli : biasanya cukup dengan penjahitan sederhana
• Ruptura ginjal : cenderung terapi konservatif, antibiotik dan hemostatikum. Dalam keadaan “Hancur Ginjal” atau perdarahan progresif hilus ginjal, dipertimbangkan tindakan nefrektomi.
• Prolaps omentum : tidak boleh sekali-kali memasukkan omentum bukan di kamar bedah dalam kaitan dengan eksplorasi laparotomi