PRIBUMI vs NONPRIBUMI; Kapan Selesainya?


“…Ya, ini masih kacaw, toko belum ada yang buka. Mhs pada konvoi dan demo di Polwiltabes”. Itu bunyi SMS dari seorang teman jurnalistik radio di kota ini masuk ke ponselku setelah kukirimi pertanyaan : “Bagaimana keadaan di lapangan paska kejadian di Latimojong?”

Episode rusuh SARA seakan hendak terulang di Makassar. Entah mengapa, solidaritas etnik yang melibatkan jibaku pribumi vs non-pribumi menjadi komoditas paling “panas” di daerah kita. Banyak yang mensinyalir ini akibat diskriminasi sosial ekonomi selama ini. Tapi menurutku, ini bukan sekadar diskriminasi belaka, tetapi menjadi isyarat bahwa ada yang secara mendasar timpang dalam praktek kerakyatan kita.

 
BACA:  Indonesia, HMI dan Krisis Kepemimpinan Kita

Jika yang menjadi alasan adalah faktor kesejahteraan ekonomi, maka seyogyanya pemerintah dan yang bertanggung jawab, memprioritaskan agar hal tersebut tidak terjadi. Meskipun memang, harus diakui, etos kerja yang dimiliki oleh sebagian besar kaum “non-pribumi” itu jauh lebih besar dibanding kita yang “pribumi”. Tetapi, bukankah secara fitrawi, kita sebagai manusia memiliki potensi yang sama?

Rusuh etnik menjadi pertanda bahwa sebagai manusia, direlung kedirian kita, masih bersemayam benih-benih dehumanisasi yang, boleh saja, muncul sebagai sebuah konsekuensi berkepercayaan atau beragama (sedikit fundamnetalis). Tetapi, bukankah pula, di dalam Islam atau Kristen, tidak dianjurkan untuk saling membedakan antara “pribumi” dan “Non-pribumi”?


BACA:  Multilevel Student Movement

Terakhir, tidakkah kejadian “penganiayaan” pembantu pribumi oleh Majikan non-pribumi di Latimojong tersebut, hanyalah satu di antara sekian jumlah bentuk2 penganiayaan lain (bahkan ada yang lebih berat/kejam) yang bahkan dilakukan oleh mereka yang “pribumi” justru terhadap sesama “pribumi”nya?

Ini bukan bermaksud menganulir “solidaritas kepribumian” kita, tetapi mencoba meletakkannya pada ruang ekspresi yang manusiawi dan proporsional. Kita serahkan kepada yang berwajib, sesuai dengan mekanisme hukum di negara ini, untuk menuntaskan persoalan tersebut. Sembari secara komunial dan individual, kita bangun eksistensi kemanusiaan secara lebih paripurna.