Sebuah kebanggan tak terungkap mleihat kegigihan Iran melawan hegemoni Amerika. Revolusi Islam Iran 1979 membangunkan semua orang bahwa kekuatan agama mampu meruntuhkan rezim syah.
Kini Iran dihadapkan pada kondisi yang -hampir- sama, akan tetapi musuh besar Iran kali ini adalah “Setan Besar” yang menjadi Monster sekaligus Dewa khsusunya bagi negara-negara berkembang tak terkecuali Indonesia. Yang masih sering mengganjal pikiran adalah bagaimana sikap politik kita?
Mensikapi sikap Iran akan memunculkan banyak prespektif. Perlawan Iran Vs Amerika disatu sisi merupakan perlawanan negara berkembang terhadap hegemoni negara maju, di sisi lain merupakan perlawanan antar agama bukan semata perseteruan nuklir, bagaimana dengan kita?
Pasca Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Condoleezza Rice, dan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, giliran presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad menginjak bumi Indonesia.
Dalam kamus politik AS, Iran tercatat sebagai salahsatu ‘poros setan’. Sementara dalam terminologi politik Iran, AS adalah ‘setan besar’. Memang, atmosfir politik internasional memanas dengan perlawanan Iran terhadap AS dan sekutunya. AS membidik isu nuklir untuk menyudutkan Iran.
Iran melawan dengan argumen kebebasan mengembangkan energi nuklir dengan tujuan damai, seperti dilakukan beberapa negara Eropa, seperti Prancis, yang hampir 80 persen sumber listriknya dari tenaga nuklir.
AS sendiri memiliki 103 reaktor nuklir yang beroperasi dan India punya 14 reaktor, selain sembilan yang sedang dibangun. Singkatnya, AS kembali menemukan teman dialektika pasca hancurnya Uni Soviet.
Dialektika Sejarah
Francis Fukuyama pernah mengajukan tesis bahwa pasca kapitalisme dan demokrasi liberal di Eropa abad ke-16 dan ke-17 tercapai, maka itu merupakan tahap akhir proses penciptaan ide dalam sejarah.
Dari kaca mata Hegelian, demokrasi liberal adalah tahapan absolut dialektika kehidupan bernegara. Artinya, dalam demokrasi liberal, dialektika individu dengan sosial (negara) berakhir. Kebebasan warga dijamin negara dalam hukum positif.
Akhir sejarah berarti bahwa tidak akan ada kemajuan ide dan prinsip baru yang diidealisasikan dalam kehidupan politik. Oleh sebab itu, demokrasi liberal akan jadi ideologi dan praktek politik di seluruh dunia.
Ide provokatif Fukuyama bukan hal baru. Hegel, Marx, dan Shari’ati pernah mengusung konsep akhir sejarah yang bermuara pada utopia sebab jarak idealitas konseptual mereka terlalu jauh dengan praktek politik empiris.
Oleh karena itu, tesis Fukuyama wajib difikir ulang, sebab perseteruan AS dan Iran pun, dari perspektif analisis ideologi, merupakan bentrok-dialektis antara demokrasi-liberal yang diusung AS dengan khomeinisme Iran. Artinya, proses dialektika sejarah belum terhenti.
Eksperimen Wilayat al-Faqih
Iran secara terbuka menantang hegemoni politik luar negeri AS. Mengapa Iran sangat percaya diri menghadapi raksasa AS?
Pertama, Iran adalah salahsatu negeri yang tak bergantung pada bantuan luar negeri. Embargo seketat apapun tidak berpengaruh karena mereka mampu menjadi negeri mandiri (autarkeia).
Kedua, Iran punya kartu truff, yakni persediaan minyak yang besar. Artinya, bila Iran menghentikan ekspor minyaknya, otomatis harga minyak dunia gonjang-ganjing yang berakibat buruk pada industri-industri besar yang menopang sistem ekonomi kapitalis.
Ketiga, Iran memiliki bahan bakar ideologis, yakni khomeinisme, sebuah konstruk ideologis yang diracik Imam Khomeini.
Bila ditelisik, maka pilar khomeinisme adalah teori politik Wilayat al-Faqih yang mencoba mensintesiskan ‘suara’ Tuhan dengan suara rakyat.
Yang khas dalam eksperimen politik khomeinisme di Iran adalah adanya lembaga majlis-e khubregan, semacam majelis ulama yang beranggotakan para faqih (pakar hukum Islam). Mereka bukan badan legislatif. Pada lembaga inilah proses sintesis demokrasi dengan agama berlangsung.
Tugas majlis-e khubergan adalah menguji undang-undang yang dibuat palemen: Apakah undang-undang itu bertentangan dengan agama atau tidak.
Kadang mereka pun membuat rancangan undang-undang yang bersumber dari agama, lalu disodorkan kepada parlemen guna dirumuskan ke dalam peraturan yang spesifik dan praktis.
Majlis-e khubregan dipilih secara ketat dan melaui proses ujian otoritas keilmuan yang berat. Pengujinya adalah majlis-e mudarisin yang terdiri dari guru-guru besar di Qum.
Sidang utama majelis ini adalah untuk mengangkat rahbar, pemimpin spiritual tertinggi, yang saat ini dipegang Imam Ali Khamenei.
Sedangkan parlemen bertugas membuat hukum dan mengangkat menteri yang diusulkan presiden. Parlemen punya hak penuh menguji calon-calon menteri yang diajukan, bahkan dapat menolak calon-calon yang diajukan Jadi, menteri bertanggungjawab terhadap parlemen dan presiden tidak bisa memecat menteri.
Posisi tertinggi dalam tatanan wilayah al-faqih adalah fuqaha (jamak dari faqih) yang mengerti administrasi negara dan paham perkembangan zaman.
Singkatnya, wilayat al-faqih bukan kehendak faqih. Faqih memang memiliki otoritas besar, tetapi bukan otoritas absolut. Otoritas faqih terikat pada norma-norma agama dan dibangun atas dasar kepentingan rakyat.
Jadi, pemegang otoritas tertinggi tetap di tangan rakyat karena rakyat yang memilih parlemen, presiden dan majlis-e khubregan. Sedangkan rahbar dipilih secara tidak langsung oleh rakyat, yakni melalui majelis-e khubergan.
Sejauh ini, eksperimen politik khomeinisme sukses di Iran. Oleh karena itu, demokrasi liberal bukan akhir sejarah karena ia harus berdialektika dengan khomeinisme.
Kita berharap dialektika tersebut menjadi ‘proses dialog’ demi masa depan peradaban manusia yang beralaskan keadilan, bukan hegemoni.
Bagaimana dengan kita?