Menggagas Agenda Reformasi Kesehatan


Hiruk-pikuk genderang reformasi yang ditabuh pada tahun 1998 seakan belum juga mau surut. Bahkan dalam kondisi saat ini, agenda reformasi dirasakan masih perlu diekstensifkan lagi, merambah pada semua sektor kehidupan, tak terkecuali bidang kesehatan.

Pembangunan kesehatan hingga saat ini masih perlu mencari formulasi yang tepat untuk dapat sampai pada sasaran. Termasuk untuk melakukan berbagai upaya reformulasi dan reformasi kebijakan-kebijakan di dalamnya.

 

Realisasi paradigma sehat yang sebagian besar tertuang di dalam Visi Indonesia Sehat 2010, masih cukup jauh dari harapan. Bahkan tidak berlebihan jika mengatakan pembangunan kesehatan kita saat ini terancam gagal. Sebagai gambaran, indeks pembangunan manusia (Human Development Index) Indonesia tahun 2004 berada di peringkat 111.

Sebagai perbandingan, Vietnam yang tahun 1995 lalu HDI-nya di peringkat 117, justru melejit ke urutan 95 pada tahun yang sama. HDI merupakan gambaran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa dari Program Pembangunan PBB (UNDP), yang dilihat dari tiga aspek, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.


Masih Gagal

Setidaknya, terdapat dua faktor penting yang menyebabkan kegagalan program kesehatan di negara kita. Pertama, kebijakan kesehatan kita masih terjebak dalam level kuratif (pengobatan).

Ini sangat bertolak belakang dengan Paradigma Sehat yang lebih menomorsatukan terbangunnya kesadaran sehat di masyarakat. Kesadaran sehat akan banyak berpengaruh terhadap status kesehatan setiap orang. Sementara status kesehatan, sebagaimana H.L. Blum mengutarakannya, erat tergantung dari empat hal, yakni perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan genetika.

Lewat level kuratif, pemerintah masih euphoria dengan menghabiskan uang banyak dan waktu berpikir tentang bagaimana mengobati penyakit dan menanggulangi wabah epidemik yang terjadi di masyarakat. Akibatnya, secara struktural, hingga institusi pelayanan kesehatan paling bawah, Puskesmas, telah terjadi kesalahan kategorial dalam memetakan problem kesehatan di negara kita.

BACA:  Catatan Kesehatan di Akhir Tahun

Program-program pengobatan penyakit berjalan paralel dengan semakin meningkatnya angka kematian akibat penyakit bersangkutan. Fenomena ini, jika dikaji secara rasional mestinya lebih difokuskan pada upaya penanggulangan penyakit melalui strategi promosi dan prevensi kesehatan di semua lini.

Masih relevan kiranya mengkaji dan mengaplikasikan parameter status kesehatan H.L. Blum dalam konteks kita. Yang paling penting dalam hal ini adalah soal perilaku masyarakat. Upaya kuratif yang selama ini menjadi primadona pembangunan kesehatan tidak cukup beralasan dapat mengubah banyak perilaku hidup masyarakat.

Justru semakin memperparah kondisi. Realitas ini makin runyam jika melihat realisasi pembangunan kesehatan yang cenderung sumir, mengagung-agungkan kemoderenan pelayanan kesehatan di atas kemampuan personal manusia yang serba pas-pasan.

Alasan kedua yang mendasari kegagalan pembangunan kesehatan di negara kita adalah elitisme pengelolaan kesehatan yang banyak disebabkan oleh sentralistiknya mekanisme pengambilan kebijakan. Jika memandang bahwa kesehatan merupakan bangunan universal yang konstruksinya terdiri dari semua elemen dasar kehidupan, maka pelibatan masyarakat dan elemen lainnya menjadi kemutlakan.

Secara fenomenal, Gus Dur pada tahun 1999 pernah mengatakan: “Kalau mau mengikuti kata hati, seharusnya juga tidak perlu ada Departemen Kesehatan”. Urusan kesehatan, termasuk masalah jamu, adalah urusan masyarakat. Karena itu, penanganannya cukup oleh masyarakat.

Selama ini masyarakat telah mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan, mulai dari menjual jamu gendongan hingga rumah sakit yang moderen. Selain itu, tak ada setiap individu pun yang ingin menderita sakit, sehingga secara sendiri-sendiri atau bekerja sama, orang pasti akan berusaha untuk tetap sehat dan terhindar dari penyakit.

BACA:  Masyarakat Perlu Miliki Keterampilan Kegawatdaruratan Medik

Dalam kenyataannya di masyarakat, pola kebijakan yang top down masih sangat kuat membelenggu. Pelaksanaan otonomi daerah yang pada awalnya dianggap angin segar, justru berubah jadi tornado yang meluluh-lantakkan struktur masyarakat, termasuk kesehatan.

Kesalahan kebijakan (malpolicy) justru semakin parah dan secara kuantitas menunjukkan grafik menanjak. Pemerintah terlalu menghegemoni dalam menentukan hak hidup masyarakatnya, tak terkecuali untuk dapat hidup sehat secara wajar.

Agenda Reformasi Kesehatan

Reformasi bidang kesehatan bukan lagi bahasa yang baru. Hanya saja agendanya perlu dipertegas kembali sebagai landasan pembangunan selanjutnya.

Jika disederhanakan, agenda reformasi kesehatan akan lebih mengedepankan partisipasi masyarakat dalam menyusun dan menyelenggarakan aspek kesehatannya dengan sesedikit mungkin intervensi pemerintah. Pemberdayaan masyarakat menjadi tolok ukur keberhasilan dan pemihakan terhadap kaum miskin menjadi syarat penerimaan universalitasnya.

Gunawan Setiadi, seorang dokter dan master bidang kesehatan, mengungkapkan beberapa alasan mengapa masyarakat dapat menyelenggarakan kesehatannya, dan lebih baik dari pemerintah, antara lain:

(a) komitmen masyarakat lebih besar dibandingkan pegawai yang digaji;
(b) masyarakat lebih paham masalahnya sendiri;
(c) masyarakat dapat memecahkan masalah, sedangkan kalangan profesional/pemerintah sekadar memberikan pelayanan;
(d) masyarakat lebih fleksibel dan kreatif;
(e) masyarakat mampu memberikan pelayanan yang lebih murah; dan
(f) standar perilaku ditegakkan lebih efektif oleh masyarakat dibandingkan birokrat atau profesional kesehatan.

Pandangan-pandangan di atas menjadi cukup beralasan muncul dengan melihat kecenderungan rendahnya etos kerja birokrat dan profesional kesehatan selama ini.

Sudah saatnya penyelenggaraan kesehatan diprakarsai oleh masyarakat sendiri, sehingga pemaknaan atas hidup sehat menjadi sebuah budaya baru, di mana di dalamnya terbangun kepercayaan, penghargaan atas hak hidup dan menyuburnya norma-norma kemanusiaan lainnya.

BACA:  Peran Masyarakat dalam Pembangunan Kesehatan

Model penyelenggaraan kesehatan berbasis pemberdayaan (empowerment) harus disusun secara rasional dengan sedapat mungkin melibatkan semua stakeholder terkait.

Jadi, prioritas pembangunan kesehatan sedapat mungkin lebih diarahkan untuk masyarakat miskin – mereka yang jumlahnya mayoritas dan telah banyak terampas haknya selama ini. Untuk itu, sasaran dari subsidi pemerintah di bidang kesehatan perlu dipertajam dengan jalan antara lain :

Pertama, meningkatkan anggaran bagi program-program kesehatan yang banyak berkaitan dengan penduduk miskin. Misalnya program pemberantasan penyakit menular, pelayanan kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan gizi masyarakat.

Kedua, meningkatkan subsidi bagi sarana pelayanan kesehatan yang banyak melayani penduduk miskin, yaitu Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, ruang rawat inap kelas III di rumah sakit. Untuk itu, subsidi bantuan biaya operasional rumah sakit perlu ditingkatkan untuk menghindari praktik eksploitasi dan ‘pemalakan’ pasien miskin atas nama biaya perawatan.

Ketiga, mengurangi anggaran bagi program yang secara tidak langsung membantu masyarakat miskin mengatasi masalah kesehatannya. Contohnya adalah pengadaan alat kedokteran canggih, program kesehatan olahraga dan lain sebagainya.

Keempat, mengurangi subsidi pemerintah kepada sarana pelayanan kesehatan yang jarang dimanfaatkan oleh masyarakat miskin, misalnya pembangunan rumah sakit-rumah sakit stroke.

***
Menggagas agenda reformasi kesehatan, menuntut partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat, sebagai wujud keberdayaan sipil yang selama ini dipasung oleh sentralisasi kebijakan.

Sudah saatnya masyarakat memperoleh akses seluas-luasnya untuk hidup sehat, karena sehat adalah hak asasi, dan karena itu, pemerintah wajib mewujudkannya !