Patofisiologis Rhinitis Alergi


https://www.ilmukesehatan.com/keperawatanRhinitis alergik

Rhinitis alergik (hay fever, rhinitis alergik kronik, polinosis) merupakan bentuk alergi respiratorius yang paling sering ditemukan dan diperkirakan diantarai oleh reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I).

 

Penyakit ini mengenai sekitar 8% hingga 10% dari populasi penduduk AS (20% hingga 30% penduduk remaja). Kalau tidak diobati, dapat terjadi banyak komplikasi seperti asma alergik, obstruksi nasal kronik, otitis kronik dengan gangguan pendengaran, anosmia, (gangguan kemampuan membau), dan pada anak-anak, deformitas dental orofasial. Diagnosis dini dan terapi yang adekuat sangat penting.


BACA JUGA:  Farmakoterapi Antihistamin Untuk Alergi

Karena rhinitis alergik ditimbulkan oleh tepung sari atau kapang (mold) yang terbawa angin, keadaan ini ditandai oleh insidensi musiman dinegara dengan empat musim:

Awal musim semi : tepung sari (pollem) pohon (oak, elm, poplar)

Awal musim panas (rose fever) : tepung sari rerumputan (timothy, red-top)

Awal musim gugur : tepung sari gulma (ragweed)

Setiap tahunnya, serangan dimulai dan berakhir pada waktu yang kurang lebih sama. Spora kapang yang terbawa angin memerlukan cuaca yang hangat dan lembab.

BACA JUGA:  Gen Dari Kedua Orangtua Meningkatkan Risiko Preeklamsia

Meskipun pola musiman yang kaku tidak terdapat, spora ini muncul pada awal musim semi, bertambah banyak selama musim panas dan berkurang serta menghilang menjelang turunnya salju yang pertama.

Patofisologi

Sensitisasi dimulai dengan konsumsi atau inhalasi antigen. Pada pemajanan ulang, mukosa nasal bereaksi dengan pelambatan kerja silia, pembentukan edema dan infiltrasi leukosit (terutama eosinofil).

Histamine merupakan mediator utama reaksi alergi pada mukosa nasal. Edema jaringan terjadi akibat vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.