Rumahsakit Indonesia, Teknologi Kedokteran dan Sumber Daya Manusia


Dapat dipahami bahwa apabila rumahsakit keagamaan atau rumahsakit non-profit tidak memberi pendapatan yang memuaskan dokter spesialis atau manajer rumahsakit maka ada kemungkinan dokter atau manajer yang bersangkutan akan pindah ke rumahsakit lain.

Hal ini terutama terjadi apabila posisi menawar antara rumahsakit dengan tenaga kesehatan tidak sama. Artinya tenaga kesehatan yang menguasai teknologi medik dan mempunyai pengalaman tinggi mempunyai daya tawar lebih kuat dibanding rumahsakit.

 

Kekuatan ini antara lain disebabkan sedikitnya jumlah tenaga kesehatan yang menguasai teknologi. Dalam konteks ini ada berbagai kasus yang berasal dari sifat-sifat teknologi kedokteran yang khas dan perilaku ekonomi tenaga kesehatan.

Kasus A:

Pendirian rumahsakit swasta oleh dokter rumahsakit pemerintah


Kasus yang banyak terjadi di Indonesia adalah dokter spesialis rumahsakit pemerintah mendirikan rumahsakit sendiri, atau klinik bersalin (untuk dokter obsgin).

Berbagai kejadian menunjukkan bahwa rumahsakit swasta yang didirikan oleh dokter spesialis pemerintah berada dalam jangkauan jarak yang dekat. Berdasarkan pengamatan, sampai saat ini tidak ada rumahsakit yang didirikan oleh dokter spesialis yang berfungsi melayani masyarakat kelas bawah (safety-net) karena memang tidak ada subsidi untuk rumahsakit swasta.

Dengan terbatasnya jasa medik para dokter di rumahsakit pemerintah, maka ada kemungkinan pendirian rumahsakit swasta oleh para dokter spesialis rumahsakit pemerintah akan semakin meningkat.

Ada kemungkinan pendirian rumahsakit swasta oleh dokter spesialis berdasarkan faktor kepuasan hidup, perasaan sebagai profesional yang independen dan ada kemungkinan untuk pengembangan teknologi.

Dalam hal kepuasan hidup dan sebagai profesional yang independen, faktor ini merupakan masalah individual yang spesifik. Akan tetapi dipandang dari sudut teknologi kedokteran, rumahsakit milik para spesialis cenderung untuk tidak menggunakan teknologi tinggi karena membutuhkan biaya modal dan operasional yang besar.

Berbagai rumahsakit milik dosen di fakultas kedokteran di Indonesia mempunyai teknologi kedokteran yang jauh lebih rendah dibanding dengan rumahsakit pendidikannya.

Kasus B:

Penjualan bahan medik dan obat oleh tenaga kesehatan

Kasus lain adalah penjualan bahan oleh tenaga kesehatan di rumahsakit tanpa melalui sistem keuangan rumahsakit. Sebagai gambaran sebagian dokter bedah tulang mempunyai kebijakan untuk melakukan operasi dengan menyertakan bahan sebagai bagian dari jasa yang diberikan.

Dalam kata lain bahan tersebut tidak disediakan oleh rumahsakit, namun disediakan oleh dokter bedah. Ada logika menarik dalam hal ini.

Dalam sebuah rumahsakit ada kemungkinan margin keuntungan yang diperoleh dari penjualam bahan tersebut lebih besar kalau disediakan rumahsakit dibanding kalau bahan tersebut disediakan oleh dokter bedah.

Hal ini dapat terjadi karena ada kemungkinan rumahsakit tersebut menggunakan keuntungan dari bahan bedah tersebut untuk berbagai hal.

Apabila bahan bedah tersebut disediakan oleh dokter bedah yang bersangkutan maka untung dari bahan tersebut dapat dikurangi karena hanya dokter yang merupakan pihak yang mendapat insentif ekonomi dari bahan tersebut.

Akibatnya adalah biaya akan semakin murah, dan pasien akan mendapat keuntungan karena membayar bahan secara lebih murah.

Akan tetapi dipandang dari sistem manajemen rumahsakit, hal ini menjadi contoh yang dapat ditiru oleh semua staf medik rumahsakit untuk melakukan serupa, termasuk dokter mata yang juga menjual lensa bersama dengan jasa pelayanan operasinya.

Di dalam proses pengobatan, praktek menjual obat secara terpisah di luar proses perawatan juga mungkin terjadi. Dalam hal ini ada kasus dimana para perawat di bangsal mempunyai hubungan dengan apotik di luar farmasi/apotik rumahsakit yang memberikan harga lebih murah dan waktu pengiriman lebih cepat.

Secara lebih mendalam, akan timbul pertanyaan bagaimana dengan sistem manajemen rumahsakit kalau profesional medik dan paramedik yang menguasai teknologi akan melakukan penjualan sendiri-sendiri.

BACA:  Kapitalisme di Dunia Kedokteran

Kemudian dipandang dari aspek hukum juga akan muncul pertanyaan, apakah rumahsakit bertanggung-jawab terhadap mutu obat yang dibeli di luar apotik rumahsakit, atau bahan bedah yang disediakan oleh dokter bedah, atau mutu lensa yang disediakan langsung oleh dokter mata. Jawabannya sangat sulit karena menyangkut berbagai aspek.

Bagaimana untuk mengatasi hal ini? Sangat sulit, namun yang pasti adalah sistem manajemen rumahsakit harus menjadi lebih efisien untuk menjamin bahwa harga bahan yang dijual secara terpisah oleh dokter atau perawat, akan menjadi lebih rendah kalau dikelola oleh rumahsakit.

Kasus C:

Teknologi bedah jantung dan kerja kelompok

Pengembangan rumahsakit secara fisik dan peralatan saat ini terkesan sudah memadai. Akan tetapi ternyata sumber daya manusia menghadapi masalah besar.

Kasus ini menggambarkan kesulitan sebuah rumahsakit pendidikan yang akan mengembangkan bedah jantung. Berbagai masalah menghadang.

Salahsatu masalah adalah: Tenaga spesialis yang ada di RS pendidikan tersebut cenderung tidak dapat bekerja secara tim . Para dokter spesialis yang sebagian besar adalah dosen di Fakultas Kedokteran ternyata sibuk mempunyai kegiatan sendiri-sendiri di rumahsakit-rumahsakit swasta.

Kegiatan mandiri tersebut menyebabkan mereka sibuk untuk melakukan operasi dengan tingkat kesulitan yang rendah karena fasilitas RS Swasta tidak sebaik RSUP Pendidikan.

Akan tetapi jasa medik yang diberikan oleh rumahsakit swasta tersebut sangat tinggi, dapat mencapai sekitar 10 kali lipat operasi serupa di RSUP Pendidikan.

Keadaan ini dapat menjadi salahsatu faktor penghambat kemajuan tim bedah jantung rumahsakit pendidikan tersebut disamping berbagai faktor lain seperti kekurangan biaya operasional. Hal ini dapat diuraikan dengan mekanisme sebagai berikut.

Jasa medik untuk operasi jantung tersebut ternyata tidak besar, karena para pasien yang dioperasi jantung adalah anggota masyarakat kelas bawah. Hal ini dapat dimengerti karena efek globalisasi paling berakibat pada masyarakat kelas atas.

Golongan masyarakat atas yang membutuhkan operasi jantung akan pergi global ke Australia atau ke Houston, Singapura karena unsur kepercayaan tentunya mempengaruhi pengambilan keputusan mereka untuk mencari rumahsakit.

Bagi golongan miskin, operasi jantung pada rumahsakit (yang baru dijalankan) merupakan kesempatan yang tidak ada pilihan lain.

Bagi RS pendidikan, untuk mendapatkan kepercayaan tersebut tentunya dibutuhkan waktu dan bukti bahwa operasi jantung yang dikerjakan memang mempunyai angka keberhasilan tinggi. Disinilah masalahnya timbul.

Apakah mungkin para dokter spesialis yang merangkap bekerja di RS Swasta mau melakukan team-work yang baik dalam persiapan dan pelaksanaan operasi jantung yang membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan tinggi dalam suasana pemberian jasa medik yang relatif kecil.

Pembahasan

Kasus-kasus diatas dapat dibahas dengan hakekat ilmu kedokteran yang dipergunakan di Indonesia. Rumahsakit di Indonesia tidak lepas dari pengaruh sektor kesehatan yang menggunakan teknologi kedokteran yang membutuhkan obat dan peralatan mutahir serta sumber daya manusia dengan pendidikan tinggi.

Rumahsakit memerlukan pembaharuan dari aspek teknologi kedokteran. Pembaharuan ini memerlukan sumber daya dalam bentuk dollar, karena hampir seluruh peralatan medik merupakan produk impor.

Rumahsakit memerlukan biaya operasional dimana bahan habis pakai atau sumber daya termasuk tenaga kesehatan yang terpengaruh oleh gaya hidup di negara maju.

Operasi bedah jantung membutuhkan peralatan dengan tekonologi tinggi, obat-obatan yang mahal, dan para sumber daya yang mempunyai kualifikasi tinggi.

Tenaga kesehatan berkualifikasi tinggi wajar jika mempunyai standar global. Sebagai contoh ada seorang dokter bedah yang mengkaitkan pendapatannya dengan pendapatan dokter bedah di Amerika dalam ukuran dollar.

BACA:  Referat Kedokteran: Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Pneumonia

Logika yang dikatakan adalah pendidikan dan continuing education yang dia peroleh berasal dari luarnegeri dengan menggunakan mata uang dollar sebagai alat pembayaran.

Kebutuhan-kebutuhan untuk peningkatan tersebut antara lain untuk mengikuti seminar/kongres, membeli jurnal, buku, CD-ROM, dan juga untuk peralatan medik pribadinya. Ditambahkan bahwa berbagai perlengkapan hidupnya berasal dari impor seperti mobil, peralatan rumahtangga, dan rekreasi.

Dalam hal ini Indonesia bukan India dimana masih ada kebanggaan untuk menggunakan produk dalam negeri seperti mobil. Indonesia juga bukan negara sosialis dimana profesionalnya masih hidup dengan sederhana. Indonesia secara de-facto sebenarnya negara yang menganut faham pasar dan terpengaruh pola hidup konsumerisme.

Ada berbagai sifat teknologi kedokteran yang berhubungan dengan tenaga kesehatan. Sifat yang menonjol adalah harus dipelajari melalui suatu proses tertentu yang menghasilkan profesional yang mempunyai otonomi tinggi. Proses penguasaan teknologi ini rumit dan membutuhkan waktu lama, misal dokter bedah spesialis tulang anak.

Hasil dari proses penguasaan teknologi kedokteran ini adalah dokter yang mempunyai kemampuan tinggi dan sedikit jumlahnya. Risiko proses pendidikan yang rumit dengan pengaruh kehidupan global berbasis model pasar saham adalah terciptanya kelompok elite dalam profesi dokter yaitu para spesialis dengan kemampuan tinggi dan sedikit jumlahnya.

Risiko adanya kelompok yang sedikit dengan ketrampilan tinggi, proses pendidikan yang lama, serta penghasilan sangat tinggi adakah terbentuknya semacam kartel di profesi dokter. Di beberapa kota di Indonesia gejala ini terlihat.

Sifat penting pelayanan kesehatan adalah mempunyai berbagai teknologi di dalamnya. Sebagai gambaran mengapa dokter endirikan rumahsakit sendiri.

Dalam tindakan beda misalnya, ada berbagai macam teknologi yang terlibat: teknologi bedah sendiri, teknologi anastesi, teknologi perawatan pasca bedah, teknologi obat-obatan, teknologi fisioterapi dan sebagainya.

Setiap teknologi ini mempunyai proses kegiatan yang mengandung unsur keuntungan materiil. Dalam sebuah rumahsakit, para profesional yang menguasai teknologi kesehatan mendapat penghasilan dari keahliannya di dalam teknologi tersebut.

Sebagai contoh, dokter spesialis kebidanan dan kandungan akan mendapat penghasilan dari kemampuan profesionalnya dalam teknologi kebidan dan kandungan.

Akan tetapi apabila dokter kebidanan dan kandungan mempunyai rumah bersalin sendiri maka sebagai pemilik akan mendapat keuntungan dari berbagai macam proses teknologi yang berlangsung di dalam penanganan pasien kebidanan dan kandungan.

Hal ini merupakan salahsatu faktor yang dapat menerangkan mengapa ada dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang mempunyai rumah bersalin sendiri.

Sifat sektor kesehatan yang kapitalistik dan sifat teknologi kedokteran ini menyebabkan sering adanya pertentangan antara pandangan individualistik tenaga kesehatan dan pandangan yang berbasis pada sistem manajemen. Muncul berbagai pertanyaan:

  • Apakah tenaga medik di rumahsakit cenderung ingin independen dari sistem manajemen rumahsakit?
  • Apa manfaat bagi tenaga kesehatan yang menguasai teknologi kedokteran untuk masuk ke dalam sistem manajemen rumahsakit? Dalam hal ini perlu dicatat jika sistem manajemennya tidak efisien, misalnya banyak korupsi atau sistem berbiaya tinggi maka kepercayaan dokter akan hilang terhadap sistem manajemen. Dengan kemampuan teknologi mediknya maka dokter dapat independen dan bekerja di tempat lain.
  • Apakah lebih baik bagi tenaga kesehatan untuk menjadi pemilik sekaligus sebagai operator dalam pelayanan kesehatan (tindakan yang berlawanan dengan manajerialisme). Dengan model ini apakah pelayanan akan menjadi lebih efisien, karena tidak banyak biaya yang diperlukan untuk manajemen. Namun ini akan sulit untuk rumahsakit yang besar. Hanya bisa untuk rumahsakit bertipe butik. Kecil dengan pelayanan tertentu.
  • Apakah mungkin dokter bekerja dalam suasana managed care dengan pembayaran berbasis pada prinsip asuransi kesehatan?
BACA:  Rumah Sakit sebagai Lembaga Sosio – Ekonomi

Sifat ekonomi yang bertumpu pada kapitalisme di sektor yang menggunakan teknologi kedokteran ini mengakibatkan pola berfikir para pelaku kegiatan rumahsakit menjadi bervariasi.

Para pelaku di sektor kesehatan tidak hanya mengutamakan aspek sosial untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi juga ada yang berperilaku yang mementingkan diri sendiri atau kelompok.

Tindakan-tindakan ini dapat terjadi karena teknologi kedokteran memberikan peluang untuk seseorang atau kelompok untuk mempelajarinya sehingga tidak ada orang lain di dalam area geografisnya yang mempunyai kemampuan serupa.

Dalam sebuah rumahsakit keagamaan misalnya ada paradoks antara misi rumahsakit yang mengacu pada kemanusiaan dengan penghasilan dokter atau staf direksi rumahsakit yang sangat tinggi.

Namun hal ini wajar karena penghasilan tinggi dokter atau manajer rumahsakit timbul karena memang ada sistem pasar dalam tenaga kerja.

Bagaimana trend ke depan pengembangan pelayanan rumahsakit dan sistem asuransi kesehatan dipandang dari perkembangan teknologi kedokteran, mekanisme pasar, dan perilaku tenaga kesehatan?

Tren yang paling mudah terjadi adalah melanjutkan keadaan saat ini. Sektor kesehatan yang menggunakan teknologi kedokteran global merupakan industri yang berbasis keuntungan dan berdasarkan hukum pasar modal.

Dalam sektor ini teknologi kedokteran semakin bermanfaat bagi masyarakat yang mempunyai uang atau masyarakat di negara kaya yang mempunyai sumber pembiayaan kuat.

Dalam hal ini memang harus diakui bahwa bumi bukan tempat ideal untuk semua orang. Ada penduduk yang hidup tanpa lindungan pelayanan kesehatan samasekali dan ada yang mempunyai secara berlebihan. Gap ini kemungkinan akan terus membesar,kecuali ada perubahan besar pada tata ekonomi dunia.

Kultur bekerja yang diukur dengan kesuksesan materi merupakan hal yang semakin wajar. Kontradiksi-kontradiksi yang muncul seperti pendapatan dokter spesialis yang sangat tinggi di rumahsakit keagamaan atau rumahsakit yayasan merupakan hal biasa.

Aspek pemerataan pelayanan kesehatan yang sering dikemukakan oleh WHO atau Departemen Kesehatan akan semakin jarang dibahas secara serius dalam berbagai kongres perhimpunan dokter ahli atau perhimpunan manajer rumahsakit. Praktis kultur bekerja di rumahsakit merupakan kultur berdasarkan materi.

Namun, ada kemungkinan terjadi alternatif yang menentang tren globalisasi, dimana ada rumahsakit atau unit pelayanan yang melakukan strategi pengembangan secara cost-leadership yang fundamental. Dalam hal ini pelayanan rumahsakit dikembangkan dengan teknologi sederhana yang tidak mahal.

Teknologi canggih yang mahal, termasuk obat-obatan harus ditapis dengan seksama. Alternatif ini merupakan kebalikan dari proses globalisasi teknologi kedokteran yang terbukti mahal harganya dan di luar jangkauan pembiayaan.

Dalam hal ini rumahsakit dikelola secara lembaga usaha non-profit yang efisien, mempunyai fungsi sosial tinggi dan sumber pembiayaan asuransi kesehatan dengan pola managed care, dan mempunyai kultur bekerja yang tidak terpengaruh oleh gaya hidup konsumerisme. Diharapkan pula ada subsidi pemerintah dan dana kemanusiaan.

Sumber daya manusia yang bekerja pada alternatif ini diharapkan yang mempunyai kompensasi non-duniawi. Jadi mereka bukan second class quality, namun memang profesional yang tidak hanya mementingkan materi. Ada kebanggaan untuk hidup secara sederhana.

Apakah masih ada kelompok sumber daya manusia yang berperilaku seperti ini? Belum ada penelitian, namun dapat disiapkan sejak awal dari saat masuk di pendidikan kedokteran banyak dan kebiasaan untuk hidup sederhana dilakukan sejak awal. Diharapkan ada kebanggaan dalam bekerja dengan kesederhanaan.

Perlu ada suatu kesederhanaan gaya hidup. Dalam kaitannya dengan asuransi kesehatan, ada kemungkinan dokter yang sederhana ini akan menjadi mitra asuransi kesehatan.