Aspek Etikolegal Pelayanan Kesehatan


Dewasa ini semakin muncul ke permukaan kasus-kasus kelalaian pelayanan kesehatan, baik yang dilakukan oleh tenaga medis, khususnya dokter dan dokter gigi, maupun rumah sakit secara institusional.

Semakin berkembangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat atas hak mereka khususnya dalam pelayanan kesehatan, menyebabkan jumlah kasus medik yang dilaporkan ke Lembaga Bantuan Hukum dan lembaga advokasi konsumen kesehatan lainnya meningkat.

 

Hanya saja, dugaan kelalaian pelayanan kesehatan, yang menjadi sengketa medik ketika telah dilaporkan ke yang berwajib, belum memiliki formula yang pas dalam penyelesaiannya.

Tarik menarik cenderung tergambar antara berbagai pihak yang masing-masing punya kepentingan di dalamnya, antara lain departemen kesehatan, anggota parlemen (DPR), dan kalangan lembaga swadaya masyarakat, khususnya untuk menempatkan posisi hukum proses peradilan sengketa medis jika terdapat pengaduan dari pasien yang merasa dirugikan.


Keberadaan Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 belum cukup memadai untuk dijadikan parameter penyelesaian sengketa medik. Dalam pada yang lain, keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor 8 Tahun 1999 tidak memiliki alasan yang rasional untuk digunakan sebagai acuan penyelesaian sengketa medik, karena dianggap bahwa hubungan dokter dengan pasiennya merupakan relasi yang unik, dan tidak tepat kalau dikategorikan sebagai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumennya.

Hubungan dokter-pasien, hakikatnya menyangkut kepercayaan kesehatan. Minimnya Peraturan Pemerintah dalam bidang kesehatan (baru 4 PP dari 29 PP yang seharusnya ada) , terutama PP yang menetapkan standar profesi kedokteran dan hak-hak pasien, turut memberikan kontribusi kacau-balaunya penanganan kasus “kejahatan dan pelanggaran hukum” dalam pelayanan medis. Hal ini diperparah oleh lambannya penetapan RUU Praktik Kedokteran oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam kondisi seperti ini, pasien semakin sulit untuk menuntut dokter secara hukum, sebab belum ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktik, kecelakaan dan kelalaian dalam pelayanan medik.

Sementara, belakangan kasus malpraktik cenderung menunjukkan grafik yang meningkat dari sebelumnya, menyebabkan banyaknya kerugian pada pihak pasien, pihak yang selama ini menjadi objek suboordinat pelayanan kesehatan.

Dalam tiga tahun terakhir, berdasarkan data dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), terdapat 149 kasus, dan 75 persen dari yang melapor adalah tenaga kesehatan yang menjadi konsumen. Sebuah ironi yang cukup meyakinkan buruknya pelayanan kesehatan negara kita.

Profesi dokter memang banyak berhubungan dengan dilema etik yang dapat berpotensi menjadi sengketa medik. Seorang dokter yang profesional selalu tidak boleh terlepas dari dua hal, yakni memiliki watak dan etika yang baik, dan kompeten di bidangnya.

Dalam aktivitas profesinya, seorang dokter harus memegang teguh etika kedokteran berdasarkan sumpahnya sewaktu diangkat menjadi dokter; dimulai dengan kemurnian niat, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmu, integritas sosial, kesejawatan dan ketuhanan.

BACA:  Software Gratis untuk Website Toko Online

Bertolak dari pandangan normatif inilah yang mendasari pemunculan wacana etikolegal sebagai sebuah paradigma baru penyelesaian sengketa medik, khususnya di negara kita.

Konsep etikolegal hendak menunjuk pada sebuah pandangan yang saling mempengaruhi antara etika dan hukum. Paradigma etikolegal adalah cara berpikir yang menganggap bahwa dalam pelayanan kedokteran dan kerumahsakitan, hukum merupakan kristalisasi dari etika, sehingga ketika pembentukannya (kemudian juga ketika penerapannya) tak boleh mengesampingkan etika karena masih merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam hukum (MKEK Pusat; 2003).

Dalam fokus tersendiri, paradigma etikolegal menempatkan integritas yang tak dapat terpisahkan begitu saja antara etika dan hokum, karena pelayanan kedokteran dan kerumahsakitan sejak dahulu telah dibingkai oleh etika yang kedudukannya lebih tinggi.

Meski merupakan sebuah kesatuan yang tak boleh terpisah begitu saja, etika tetap berbeda dengan hukum dalam pandangan norma. Norma etika bertujuan untuk kebaikan hidup pribadi atau kebersihan/kemurnian hati nurani, sehingga masuk dalam kaidah intra-pribadi. Sedangkan norma hukum bertujuan untuk kedamaian hidup bersama, karena itu tergolong kaidah antar-pribadi.

Paradigma etikolegal menjadi sebuah alternatif penyelesaian sengketa medik saat ini karena didasari oleh munculnya berbagai fenomena yang terjadi dalam praktik tenaga kesehatan.

Tenaga kesehatan yang mengecewakan pasiennya akan menghadapi kemungkinan untuk digugat atau dituntut yang sulit-sulit. Pada realitas seperti ini, pengklasifikasian masalah cenderung membantu dalam penyelesaiannya. Sehingga harus dapat dibedakan antara mana pelanggaran etik dan mana pelanggaran hukum.

Sebagai institusi yang bertanggung jawab melaksanakan pelayanan kesehatan, rumah sakit sekaligus tenaga medisnya memang kerap menuai masalah. Perkembangan teknologi, kebutuhan pembiayaan dan perubahan sikap masyarakat dan negara merupakan kekuatan-kekuatan yang akhirnya banyak mendorong lahirnya beragam model dan sifat rumah sakit.

Kecenderungan perubahan evolutif dari orientasi “kedermawanan” rumah sakit ke fase “komersialisasi” pelayanan kesehatan menjadi titik rawan timbulnya sengketa medik. Awamnya sebahagian besar konsumen kesehatan di rumah sakit terhadap hak-hak mereka menjadi portal of entry semakin menjamurnya beragam modus operandi pemerasan dan praktek bulan-bulanan pasien.

Tercatat banyaknya kasus pelanggaran dalam pelayanan pasien di rumah sakit, misalnya kecenderungan “anjuran keras” bagi ibu-ibu hamil untuk melaksanakan secsio caesar(melahirkan melalui operasi) meskipun masih dapat melahirkan secara normal, tonsilektomi dan appendektomi yang belum seharusnya dilakukan tetap dipaksakan, serta berbagai paket diagnosis keroyokan pasien yang salah satunya dikenal dengan paket lima; begitu pasien masuk ke RS, langsung diperiksa oleh lima dokter spesialis sekaligus. Akibatnya tentu berakhir pada membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan pasien.

BACA:  Uni Medis Unhas (UMU), Gerakan Mahasiswa Alternatif

Kesadaran untuk tetap memegang teguh etika menjadi pekerjaan yang sangat sulit dilakukan oleh seorang dokter di tengah tuntutan ekonomi dewasa ini.

Profesi kedokteran perlahan menuju kearah proletar dan bukan lagi professional, maka yang diutamakan hanyalah kompetensi tanpa watak baik, sehingga sisi kemanusiaannya semakin terkikis. Dalam polemik ini, pelayanan kesehatan tidak lagi berdasarkan kemanusiaan, tetapi berorientasi kepada bisnis.

Dalam etika profesi, menyelamatkan kehidupan adalah nilai etik yang baik dan sudah sepantasnya setiap dokter melakukan hal itu. Tetapi pada sisi ini pula telah timbul konflik tersendiri, menyangkut kualitas kehidupan yang bagaimana yang akan dipertahankan. Belum lagi dari segi biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan pasien.

Jika untuk mempertahankan kehidupan diperlukan biaya yang amat besar dan pasien tidak mampu menyediakannya, apakah dokter akan memaksakan atau bagaimana jika pasien menolak perawatan dan penanganan medik untuknya? Semua hal di atas sepenuhnya jelas merupakan aspek etika dalam pelayanan kesehatan.

Pelanggaran etika dalam praktik kedokteran menjadi bagian dari tugas pengawasan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Seorang dokter dikatakan melanggar etika apabila melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan mutu professional yang tinggi maupun kebiasaan dan cara-cara atau “policies” seperti yang lazim digunakan.

Dalam bidang kesehatan, melanggar etik termasuk melanggar prinsip-prinsip moral, nilai dan kewajiban-kewajiban yang meminta diambilnya tindakan sanksi, baik berupa teguran atau schorsing dari tempat kerja, atau organisasi profesinya.

Jika melihat deretan kasus pelanggaran etik dan sengketa medik di Indonesia pada beberapa waktu terakhir, maka akan didapatkan bahwa hampir semua dokter yang diadukan pasiennya adalah dokter spesialis yang langsung menangani pasiennya, bekerja di rumah sakit, dan rata-rata mereka termasuk figur dokter yang “banyak pasiennya” dan umumnya terjadi pada kasus-kasus yang “lama selesai/sembuh”. Sebagian besar pengaduan berisi pengabaian dan pelecehan hak-hak pasien atas informasi medik dan mahalnya pelayanan kesehatan dokter/RS.

Secara lebih spesifik, pengalaman organisasi profesi dan lembaga kesehatan di banyak negara lain di dunia menunjukkan bahwa sejumlah dokter “bermasalah” baik secara etis maupun hukum, antara lain disebabkan oleh kekurangpahaman dan atau tekanan kerja, konflik interpersonal/kepribadian, kecacatan dalam hal ini termasuk lansia, dan karena perilaku jahat atau kriminal.

Jika dikaitkan dengan kesalahannya, dokter bermasalah dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu:

(1) kesalahan atau kecelakaan jelas namun dipandang masih kompeten secara professional;

(2) kesalahan jelas dan dipandang inkompeten secara professional;

(3) watak yang menyebalkan;

(4) perilaku tidak profesioanl dan

(5) dokter yang bersangkutan cacat.

Untuk membuktikan secara hukum kesalahan-kesalahan “etis” yang telah dilakukan oleh para dokter bermasalah, maka mutlak dibutuhkan sebuah peradilan khusus untuk profesi medik, tetapi tidak bertentangan dengan sistem peradilan yang berlaku umum.

BACA:  Menakar Kegilaan; Mengkritisi Pelayanan Kesehatan Kita

Sebagai hukum alamiah yang tertinggi sejak dulu, pedoman-pedoman professional secara etis sering melampaui batas-batas yang dikehendaki oleh hukum.

Jika demikian, dalam konsep etikolegal, maka sebenarnya pada setiap pelanggaran hukum, sudah pasti merupakan pelanggaran etik, tetapi pelanggaran etik harus dicermati dulu dalam mengungkapkan kebenarannya secara material untuk diklaim sebagai pelanggaran hukum.

Pelanggaran hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dapat melahirkan hukum pidana maupun perdata. Hanya saja, di negara kita belum ada pengaturan pemerintah tentang penatalaksanaan sengketa medik ditinjau secara hukum.

Bahkan yang lebih parah adalah belum jelasnya hak-hak pasien selama menjalani perawatan kesehatan, baik yang dilakukan oleh dokter praktik maupun oleh rumah sakit. Harus diingat pula bahwa hubungan pasien dan tenaga kesehatan akan memasuki dimensi baru jika pasien itu harus masuk rumah sakit untuk perawatan.

Karenanya, hukum telah menentukan bahwa lembaga-lembaga medis bertanggung jawab terhadap pasiennya, termasuk melengkapi setiap pasiennya dengan medical record, sehingga komunikasi dapat tetap terbangun antara dokter dan pasiennya.

Perlu menjadi perhatian laporan Bank Dunia (World Bank) pada tahun 2003 lalu yang melansir 70 persen dokter Indonesia tidak membuat medical record atau catatan medik perkembangan penyakit serta terapi yang pernah diberikan pada pasiennya.

Diharapkan dengan ditetapkannya UU Praktik Kedokteran, maka sedikit banyak akan ada kejelasan terhadap perlindungan konsumen kesehatan di Indonesia, sehingga dapat dipastikan bahwa hak-hak pasien itu adalah penting, minimal hak mereka atas informed consent, semacam pemberitahuan tentang penyakit pasien, tindakan yang akan dilakukan, dan resiko apa yang mungkin akan terjadi dari suatu tindakan medik, sebelum tindakan itu dilakukan padanya, serta medical record, seperti yang dijelaskan di muka, sebagai bagian dari upaya perlindungan hukum baginya.

Pada akhirnya, konsep etikolegal memandang perlunya pencermatan secara professional atas setiap pengaduan sengketa medik, khususnya untuk wilayah etis yang secara profetik harus diselesaikan tersendiri melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan wilayah hukum yang mengacu pada sistem perundangan yang berlaku di negara kita.

Untuk itu, ke depannya sebagai konsekuensi mutlak dibutuhkan sebuah Konsil Kedokteran (Medical Council) yang antara lain bertugas untuk mengawasi, memproses dan menyelenggarakan pengadilan sengketa medik, dan dalam skala yang lebih luas, untuk melindungi pasien, melindungi dokter dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. []