Sejarah pelayanan kebidanan di Indonesia terjadi secara tidak langsung melalui usaha mengurangi angka kematian karena cacar. Pencacaran pertama di Indonesia dilakukan sekitar 1804, setelah Yenner di Inggris menemukan vaksin cacar tahun 1798.
Jangan Lewatkan:
Karena tenaga untuk melakukan pencacaran dirasakan terlalu mahal untuk didatangkan dari Negri belanda, maka didirikan sekolah dokter jawa tahun 1851, saat itu ilmu kebidanan belum merupakan pelajaran. Baru tahun1889, oleh straats, Obstertikus Austria dan Masland, ilmu kebidanan diberikan dengan sukarela. Bila dibandingkan dengan angka kematian akibat cacar, angka kematian ibu bersalin sebenarnya jauh lebih tinggi. Pemerintah belanda kurang memperhatikan tingginya angka kematian ibu karena tidak berpengaruh terhadap kehadiran Belanda sebagai penjajah.
Dengan banyaknya pendapat yang disampaikan tentang betapa tingginya membuka kursus kebidanan untuk meringankan penderitaan masyarakat pribumi dalam persalinan, pada tahun 1850 dibuka kursus bidan di bawah seorang bidan dari VOC. Pada tahun 1873 terdapat sekitar 37 bidan yang berdomisili di kota yang hanya mau menolong persalinan orang Belanda dan orang Cina. Karena biaya kursus bidan dirasakan mahal maka kursus bidan ditutup kembali oleh pemerintah Belanda.
Pendidikan Bidan dibuka kembali 1897 dibawah pimpinan Prof. Boerma, guru besar pertama di Batavia. Prof. Remmeltz melaporkan bahwa angka kematian Ibu sebesar 1.600/100.000 persalinan hidup dan angka kematian Bayi sekitar 30% dari kelahiran sebelum mencapai usia 1 tahun. Penderitaan masyarakat akibat persalinan sungguh menyayat hati, sehingga pihak swasta pun ikut membuka sekolah bidan, seperti misi katolik 1890 di Tjideres Jawa Barat dan Pearaja di Sumatra Utara. Pada tahun 1920 dr. Piverelli mendirikan semacam biro konsultasi ibu dan anak di Jakarta yang bernama: Consultatie Bureau Vorr Moeder en kind.
Di daerah Jawa Barat biro konsultasi semacam itu dipelopori oleh dr. Poerwosoewardjo dan Dr. Soemereo dengan mengikut sertakan dukun beranak. Inilah yang merupakan cikal bakal pendidikan dukun, sehingga lebih mampu memberikan pertolongan bersalin. Sampai tahun 1938 tercatat sekitar 376 bidan diseluruh Indonesia, suatu jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang memerlukan pertolongan bidan. Tidaklah menyalahkan jika masyarakat telah terbiasa dengan pertolongan persalinan oleh dukun dengan berbagai akibatnya.
Siswa pendidikan bidan diambil dari tenaga para juru rawat yang telah bekerja selama tiga tahun untuk mendapat pendidikan selama dua tahun dan ditetapkan menjadi ”pembantu bidan” dan menghendaki didirikannya sekolah bidan.
Dokter M.Toha, setelah menamatkan pendidikan sebagai ahli kebidanan dan penyakit kandungan ditempatkan di Cirebon mendapat kesempatan untuk mengutarakan secara luas berbagai masalah yang dihadapi anak negri dalam bidang pelayanan kebidanan yang sangat menyedihkan itu. Selanjutnya Prof.Remmeltz, meninjau rumah sakit Cirebon dan meluluskan permintaan mendirikan sekolah Bidan untuk pertama kalinya. Saying sekali, pecahnya perang dunia ke II telah menggalkan usaha mendirikan bidan tersebut. Setelah kemerdekaan usaha mendirikan sekolah bidan di Cirebon dilanjutkan oleh: Dr.Soetomo Joedosepoetro. Ketika dokter mohammad Toha mendapat tugas baru untuk memimpin bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran cabang Universitas Indonesia di Surabaya, beliau juga merintis mendirikan “sekolah Bidan” di Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo di Surabaya. Melalui kesempatan yang baik itu, beliau menarik dokter Soetomo Joedosepoetro dari Cirebon untuk membantu beliau dalam pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Pada Tahun 1978 tercatat 90% sampai 92% persalinan dilakukan oleh dukun, 6% oleh bidan dan sekitar 1% oleh dokter. Untuk mengurangi penyulit telah dilakukan latihan dukun beranak sebanyak 110.000 orang, tetapi sebagian besar (80% sampai 85%) tidak lagi melakukan konsultasi dengan puskesmas maupun bidan yang pernah melatihnya.
Dalam pertemuan tentang kesejahteraan ibu di Istana Negara Jakarta yang dibuka oleh bapak Presiden Soeharto, beliau menaruh perhatian yang sangat besar tentang tingginya angka kematian ibu dan perinatal di Indonesia sehingga diharapkan upaya yang sungguh-sungguh untuk dapat mengatasi masalah tersebut. Pada world congress of human reproduction di Nusa Dua Bali, Bapak Presiden soeharto telah mencanangkan penempatan bidan 50.000 orang sebagai upaya mendekatkan upaya pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih dengan membangun pondok bersalin. Gagasan itu sangat mulia tetapi memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk dapat melatih sejumlah bidan yang akan ditempatkan di pedesaan sebagai pengganti dukun beranak.