Indikator kemungkinan terjadinya kerusakan paru mencakup hal-hal berikut :
a. Riwayat yang menunjukan bahwa luka bakar terjadi dalam suatu daerah yang tertutup
b. Luka bakar pada wajah atau leher
c. Rambut hidung yang gosong
d. Suara yang menjadi parau, perubahan suara, batuk yang kering, stridor, sputum yang penuh jelaga
e. Sputum yang berdarah
f. Pernapasan yang berat atau takipnea (pernapasan yang cepat) dan tanda-tanda penurunan kadar oksigen (hipoksemia) yang lain
g. Eritema dan pembentukan lepuh pada mukosa oral atau faring
Diagnosis cedera inhalasi merupakan prioritas yang penting bagi banyak korban luka bakar. Kadar karboksihemoglobin serum dan gas arterial kerap kali digunakan untuk menilai cedera inhalasi.
Bronkoskopi dan pemeriksaan pemindaian ventilasi-perfusi dengan xenon 133 (133Xe) dapat pula dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dalam periode pasca-luka yang dini.
Pemeriksaan faal paru dapat pula dipakai untuk mendiagnosis penurunan kelenturan paru atau obstruksi aliran udara pernapasan.
Komplikasi pulmoner yang dapat terjadi sekunder akibat cedera inhalasi menckup kegagalan akut respirasi dan ARDS (adult respiratory distress syndrome).
Kegagalan repirasi terjadi kalau derajat gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah mengancam jiwa pasien. intervensi yang harus segera dilakukan adalah intubasi dan ventilasi mekanis (pemasangan respirator).
Jika ventilasi independen terganggu ekskrusi dada yang terhalang, ekskaurotomi harus segera dikerjakan. ARDS dapat timbul dalam beberapa hari pertama sesudah luka bakar dan merupakan kejadian sekunder akibat respon sistemik serta pulmoner terhadap luka bakar dan cedera inhalasi.